Selasa, 27 Februari 2018

Masih ada 12 kali lagi

Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau sekolah S3 akan menjadi perjalanan panjang nan emosional. Sebut saja soal deadline yang tak berujung, atau tugas-tugas yang tak berkesudahan. Jika satu deadline berlalu, maka hari berikutnya, seorang mahasiswa PhD harus siap untuk mengerjakan revisian (plus biasanya) ditambah dengan deadline baru. Dan itulah yang terjadi pada saya. Well, bukan ingin mengeluh, saya sadari kalau yang saya alami hari ini adalah sesuatu yang saya doakan dan perjuangkan mati-matian beberapa tahun yang lalu. hanya saja yaaa begitulah :)

Jumat lalu, sudah kali ketiga saya bimbingan. Sudah tiga kali juga saya berdiskusi dengan spv-spv saya tentang bab pertama dari 4 bab dokumen yang harus saya penuhi untuk ujian kandidat PhD nantinya. Rasanya saya makin bodoh saja. Saya memang bisa menulis, tapi dalam Bahasa Indonesia dan punya kemampuan menulis bahasa Inggris yang hanya agak sedikit (lumayan). Tapi ternyata, sampai disini, dan selama 6 bulan menjadi mahasiswa PhD, segala kemampuan menulis saya lenyap tak bersisa. 

Ternyata, sekolah di negeri orang memang tidak mudah. Salah satu yang paling sulit tentu saja bahasanya. Faktor yang lainnya tentu saja tak kalah banyaknya. Bagi saya, makanan tidak menjadi kendala karena saya bisa memasak. Yang jadi kendala adalah perubahan musim yang masih mengagetkan saya, cara kerja dan komunikasi dan adaptasi dengan load kerja yang tak mementu. Homesick masuk ga? Jelas. Sudah beberapa kali saya menangis tanpa sebab. 

Masalah bahasa ini memang tidak bisa dianggap remeh. Meskipun sudah les bahasa Inggris dari jaman teman-teman saya main kelereng sementara saya harus berangkat les naik angkot ke pusat kota sendirian, tetap saja ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang bahasa Inggrisnya seperti air mengalir, lidah saya patah rasanya. Meskipun sebenarnya orang Indonesia berbahasa Inggris tidaklah buruk-buruk amat. Well, minimal jika dibandingkan dengan ketidakjelasan artikulasinyateman-teman saya dari China, Jepang atau dibandingkan dengan aksen-aksen yang tidak biasa dari teman-teman saya dari negara latin berbahasa Inggris. Setidaknya begitu kata supervisor atau profesor saya. 


Kembali ke urusan revisian tadi. Sudah tiga kali saya merevisi bab yang sedang saya kerjakan. Dan boro-boro bicara soal kesempurnaan,  sejauh ini, semuanya masih nampak mentah. Hari ini, akhirnya saya menemui Jonathan, salah seorang konsultan senior dari research support office untuk curhat tentang masalah ini. 

Setelah mendengar segala keluhan saya, Jon lalu bilang:

"kalau masih tiga kali itu biasa. Kalo udah 15 kali trus masih begini, itu baru masalah". 

Jon kemudian bercerita tentang seorang penulis best seller yang ia temui di Brisbane Writers Festival setahun yang lalu. Buku yang ia tulis adalah buku serius, tentang bagaimana otak yg rusak bisa diperbaiki. Menurut Jon, setiap chapter dari bukunya, mengalami revisi tak kurang dari 15 kali. Makanya angka 15 kali menjadi standar bagi Jon untuk sebuah tulisan yang bagus. 


"Untuk kamu ketahui, Selain menulis buku itu, beliau juga praktisi medis, konsultan, pengajar di Columbia University (yang kelas universitasnya ga main-main) dan aslinya adalah dari Kanada (yang bahasa bukan merupakan kendala baginya)" tambah Jon.

"kalau penulis sekelas dia dan tidak bermasalah dengan bahasa saja butuh 15 kali revisi agar bagus, maka 3 kali revisi yg kamu alami belum ada apa-apanya'

"kamu masih punya kesempatan 12 kali lagi untuk revisi" kata Jon sambil tersenyum lebar kepada saya. 


Well, those words were the best part of my two hours consultation today...
.


Tidak ada komentar:

Yang udah berkunjung ke sini ..