Selasa, 27 Februari 2018

Masih ada 12 kali lagi

Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau sekolah S3 akan menjadi perjalanan panjang nan emosional. Sebut saja soal deadline yang tak berujung, atau tugas-tugas yang tak berkesudahan. Jika satu deadline berlalu, maka hari berikutnya, seorang mahasiswa PhD harus siap untuk mengerjakan revisian (plus biasanya) ditambah dengan deadline baru. Dan itulah yang terjadi pada saya. Well, bukan ingin mengeluh, saya sadari kalau yang saya alami hari ini adalah sesuatu yang saya doakan dan perjuangkan mati-matian beberapa tahun yang lalu. hanya saja yaaa begitulah :)

Jumat lalu, sudah kali ketiga saya bimbingan. Sudah tiga kali juga saya berdiskusi dengan spv-spv saya tentang bab pertama dari 4 bab dokumen yang harus saya penuhi untuk ujian kandidat PhD nantinya. Rasanya saya makin bodoh saja. Saya memang bisa menulis, tapi dalam Bahasa Indonesia dan punya kemampuan menulis bahasa Inggris yang hanya agak sedikit (lumayan). Tapi ternyata, sampai disini, dan selama 6 bulan menjadi mahasiswa PhD, segala kemampuan menulis saya lenyap tak bersisa. 

Ternyata, sekolah di negeri orang memang tidak mudah. Salah satu yang paling sulit tentu saja bahasanya. Faktor yang lainnya tentu saja tak kalah banyaknya. Bagi saya, makanan tidak menjadi kendala karena saya bisa memasak. Yang jadi kendala adalah perubahan musim yang masih mengagetkan saya, cara kerja dan komunikasi dan adaptasi dengan load kerja yang tak mementu. Homesick masuk ga? Jelas. Sudah beberapa kali saya menangis tanpa sebab. 

Masalah bahasa ini memang tidak bisa dianggap remeh. Meskipun sudah les bahasa Inggris dari jaman teman-teman saya main kelereng sementara saya harus berangkat les naik angkot ke pusat kota sendirian, tetap saja ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang bahasa Inggrisnya seperti air mengalir, lidah saya patah rasanya. Meskipun sebenarnya orang Indonesia berbahasa Inggris tidaklah buruk-buruk amat. Well, minimal jika dibandingkan dengan ketidakjelasan artikulasinyateman-teman saya dari China, Jepang atau dibandingkan dengan aksen-aksen yang tidak biasa dari teman-teman saya dari negara latin berbahasa Inggris. Setidaknya begitu kata supervisor atau profesor saya. 


Kembali ke urusan revisian tadi. Sudah tiga kali saya merevisi bab yang sedang saya kerjakan. Dan boro-boro bicara soal kesempurnaan,  sejauh ini, semuanya masih nampak mentah. Hari ini, akhirnya saya menemui Jonathan, salah seorang konsultan senior dari research support office untuk curhat tentang masalah ini. 

Setelah mendengar segala keluhan saya, Jon lalu bilang:

"kalau masih tiga kali itu biasa. Kalo udah 15 kali trus masih begini, itu baru masalah". 

Jon kemudian bercerita tentang seorang penulis best seller yang ia temui di Brisbane Writers Festival setahun yang lalu. Buku yang ia tulis adalah buku serius, tentang bagaimana otak yg rusak bisa diperbaiki. Menurut Jon, setiap chapter dari bukunya, mengalami revisi tak kurang dari 15 kali. Makanya angka 15 kali menjadi standar bagi Jon untuk sebuah tulisan yang bagus. 


"Untuk kamu ketahui, Selain menulis buku itu, beliau juga praktisi medis, konsultan, pengajar di Columbia University (yang kelas universitasnya ga main-main) dan aslinya adalah dari Kanada (yang bahasa bukan merupakan kendala baginya)" tambah Jon.

"kalau penulis sekelas dia dan tidak bermasalah dengan bahasa saja butuh 15 kali revisi agar bagus, maka 3 kali revisi yg kamu alami belum ada apa-apanya'

"kamu masih punya kesempatan 12 kali lagi untuk revisi" kata Jon sambil tersenyum lebar kepada saya. 


Well, those words were the best part of my two hours consultation today...
.


Jumat, 19 Januari 2018

Your Scholarship Does (not) Matter

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Perbedaan lokasi tentu saja bisa memberikan dampak yg berbeda pada fenomena yg sama. 


Siang tadi, saya bertemu dengan gerombolan rekan-rekan penerima beasiswa dari pemerintah negara ini di pusat kota. Dari jauh saya mendengar mereka berbicara bahasa Indonesia, namun ketika berpapasan mereka berlalu begitu saja, tanpa senyum dan sapa. Padahal senyum saya sudah tersungging. 


Ini bukan pertama kalinya saya mengalami hal seperti ini dengan sesama pelajar Indonesia disini. Meskipun tidak sedikit pelajar Indonesia yang akan membalas tersenyum saat saya berikan senyum. Somehow, saya dan beberapa teman merasa dan mengidentifikasi bahwa beberapa teman-teman penerima beasiswa tertentu kadang merasa kasta beasiswanya lebih tinggi dari penerima beasiswa lainnya. 



Padahal menurut saya, apapun beasiswa yg diterima dan darimanapun sumbernya, tujuannya akan sama saja, membawa perbaikan bagi negara sendiri. lagipula, tidak akan jadi masalah apapun merek beasiswa  sepanjang beasiswanya tidak terlambat dan tidak ada kabar. Begitupun, saya berpikir bahwa sebagai sesama penerima beasiswa, saya dan mahasiswa - mahasiswa asal Indonesia disini akan merasa sejajar saja satu sama lain, tapi ternyata, kenyataan berkata lain. Your scholarship does matter:). 


Sebagai penerima beasiswa yg baru diinisiasi beberapa tahun ini oleh kementrian tempat kampus saya bernaung, saya merasakan sekali kenapa beasiswa apa yg berada dibelakang saya menjadi sangat penting. Dan ternyata, tiap beasiswa punya kastanya sendiri yang saya susun berdasarkan popularitas, besaran allowance dan tingkat kelancaran pembayaran. Kasta ini juga sangat subjektif,karena disusun berdasarkan perasaan yang nulis juga. Berikut kasta-kasta dalam dunia perbeasiswaan mahasiswa Indonesia di Australia sini versi saya:

  1. Kasta tertinggi diduduki oleh penerima beasiswa dari pemerintah setempat. Teman-teman Indonesia yg menerima beasiswa ini biasanya datang bergerombolan dan dari awal, sudah dipenuhi fasilitas bahkan disambut dan dijamu oleh kampus. Fasilitasnya mulai dari kursus IELTS di tempat kursus yang bagus dan mahal di Jakarta atau Bali hingga sekolah TK gratis untuk yg bawa anak (aslinya mahal sekali). Saya juga paham tentang tingginyagengsinya beasiswa ini karena waktu kursus ielts,  waktunya berbarengan dengan kursusnya mereka. Teman-teman ini akan bersliweran dengan tas berlogo pemerintah negara donor sementara yg jelata seperti saya hanya memandang dengan tatapan iri karena beberapa kali melamar ga pernah lolos. Selain itu, beasiswa ini juga memberikan uang saku yang banyak. Total gajiannya sebulan bisa 1,5 kali gajian beasiswa saya. Trus, kalo ga bawa keluarga dapat fasilitas pulang sekali setahun. Ketinggian kasta beasiswa ini juga dapat dilihat dari pilihan tempat tinggal ( yang biasanya harganya diatas rata-rata pilihan tempat tinggal penerima beasiswa biasa, plus barang bermerk yg dimiliki. Gengsi penerima beasiswa ini menjadi tinggi karena (mungkin) teman-teman ini merasa sudah memenangkan persaingan yang sengit diantara para pelamar yang tiap tahunnya berjumlah ribuan. termasuk saya:)
  2. Kasta kedua adalah teman-teman penerima beasiswa yg sedang naik daun dan jor-joran diberikan pemerintah kita. Jumlah biaya hidupnya siy ga beda jauh ama beasiswa saya, tapi fasilitas dan kelancaran menang mereka. Lagipula, gengsinya juga tak kalah tinggi. Sebut saja beberapa artis muda yg juga ikut bersaing memenangkan kursi beasiswa ini. Belum lagi paketan kegiatan sebelum berangkat, persatuan alumni dkk yg menjadikan beasiswa ini WOW banget. Sebagai orang yang pernah gagal mendapatkan jatah kursi di beasiswa ini, saya paham kenapa penerima beasiswa ini juga stelannya tingi-tinggi:)
  3. Kasta ketiga adalah penerima beasiswa yang tidak umum, jarang terdengar namanya seperti beasiswa dr kementrian tertentu, atau bahkan beasiswa dari universitas di negara ini juga masuk kategori ini meskipun jumlah yang diterima kadang tak kalah besarnya dari kasta satu dan lebih besar dari kasta 2, tapi beasiswa di kasta ini biasanya ga lancar dan ga terkenal. Tapi penerima beassiwa ini adalah para pelajar-peelajar tangguh, yang bisa bertahan hidup berbulan-bulan saat beasiswa belum cair tanpa merengek-rengek. Sayangnya, kasta ini biasanya memiliki anggota yang sedikit. Saking tidak populernya beasiswa jenis ini, maka setiap kali ada yg bertanya, maka setiap kali itu pula penjelasannya akan panjang lebar. Nah, beasiswa saya adanya di kasta ini
Lalu, emang ngaruh ya beasiswa kita apa terhadap kehidupan kita disini? iya sih..terutama kehidupan sosial. Kalo kehidupan akademis mah masalah perjuangan masing-masing. 

Pengaruh yang pertama ada di seberapa sering kalian akan diajak kumpul-kumpul. Kumpul-kumpul dengan sesama orang Indonesia di negara lain akan selalu menyenangkan karena berbonus networking dan makanan. Nah, masalahnya adalah, seringkali undangannya hanyalah terbatas pada mahasiswa Indonesia penerima beasiswa A di kampus B, sehingga kasta terendah seperti saya jarang sekali bisa ikutan. Pertama jelas beasiswanya berbeda. Yang kedua, kalau mau bikin acara tandingan, kami-kami dikasta nomor 3 biasanya ga bisa karena jumlah kami yang sedikit. Di kota ini, penerima beasiswa yg sama dengan saya hanya ada 3 sementara beasiswa kasta 1 dan 2 bisa ratusan kaya wafer tango. Pernah, saya sampai merengek-rengek pada ketua perkumpulan mahasiswa Indonesia di kampus untuk ngadain gathering semua mahasiswa Indonesia di kampus kami tanpa membedakan suku, agama, ras dan beasiswa:)

Pengaruh kedua ada pada isi pembicaraan pada saat kumpul-kumpul; pada pertanyaan-pertanyaan tak berujung diseputar beasiswa, seperti :
"kok bisa beasiswanya belum cair? beda banget ya dengan beasiswa kami yang apa-apa dibayar dimuka"
sesekali gapapa..sering sering? sakitnya tuh disini.:)

Pengaruh ketiga sekaligus yang paling penting adalah pada tingkat kelancaran beasiswa. Beasiswa dari pemerintah yg jor-joran itu nyaris tidak pernah macet. Semua dibayar dimuka atau disediakan oleh beasiswanya, mulai dari tiket pesawat pas datang hingga biasa awal kedatangan. Lebih hebat lagi yang beasiswa dari pemerintah setempat, waduhhh, surga banget tuh. Baru datang aja teman-teman ini sudah bisa belanja belanji ke Direct Factory Outlet terdekat while in my beasiswa, segalanya (tiket, akomodasi, biaya awal) diusahakan sendiri dan baru terbayar tiga bulan kemudian. Boro-boro belanja barang branded, belanja di Kmart saja pake uang hutang. 

Pengaruh keempat ada di kemampuan bertahan hidup dan networking. Untuk yang ini, kasta saya jelas juaranya. Sebelum berangkat sekolah, saya sudah terhubung dengan teman-teman dari Indonesia yang sudah duluan di Brisbane, sehingga saya dapat akomodasi sementara yang murah dan bagus. Plus bisa makan nasi dan lauk pauk dari hari pertama datang.  Selain itu, karena ga punya gerombolan seperti kasta 1 dan 2, saya bisa bertahan sendirian, mengusahakan apa-apa sendiri sehingga akhirnya justru kenal lebih banyak orang dari berbagai kasta. Saya bertahan hidup dari kebaikan hati teman-teman saya yang beasiswanya alhamdulillah lancar, atau dari mereka yang juga merasakan hal yang sama dulunya. Hal seperti ini yg mungkin tidak dimiliki kebanyakan teman di kasta 1 dan 2. Setidaknya, seperti yang saya pernah dengar, ketka beasiswa mereka tertunda dalam hitungan minggu, langsung deh pada heboh. Apa jadinya kalau mereka menjadi penerima beasiswa di kementrian saya ya?


Jadi seberapa pentingnya bagi kita berangkat sekolah dengan beasiswa tertentu? tentu akan penting jika dipajang di socmed, untuk calon mertua, meyakinkan calon pasangan hidup atau HRD tempat kita akan melamar kerja nantinya sebagai penunjuk untuk pencapaian terbaik. But does your scholarship matter that most?
Nope, mau beasiswanya apa kek, mau lancar kek, mau tersendat keak, mau bergengsi kek, mau ga terkenal kek, saya mah bodo amat.

Diluar itu semua, bukan apa jenis beasiswa dan berapa besaran beasiswa yang diterima yang paling penting. Setiap orang memikul beban masing-masing ketika berangkat sekolah ke negara orang lain. Yang penting itu justru kesemmpatan untukdibayarin sekolahnya. Kesempatan sekolahnya yang mahal. Makanya banyak yg berjuang mati-matian lolos seleksi beassiwa biar bisa sekolah ditempat yang bagus. karena kalo bayar sendiri, ga sanggup. 

Dan yang lebih penting lagi itu adalah mendapatkan kesempatan untuk merasakan kemajuan di negeri orang untuk kemudian dibawa kembali untuk memajukan negeri sendiri yang lebih penting? bukankah apapun beasiswa yang diterima teman-teman kita itu bukanlah yang membedakan mereka dengan kita? bukankah itu yang sebenarnya menajdikan kita satu, karena apapun beasiswanya, sejatinya kita adalah pelajar Indonesia. isnt it?

Senin, 15 Januari 2018

Benci Tapi Rindu Negeri Sendiri di Negeri Orang :)

Tadi malam saya ikutan menyimak insta storynya @kartupos tentang bagaimana orang asing yang pernah tinggal di Indonesia jadi sedih banget kalo harus pindah atau balik ke negaranya. Yeah, as Indonesian, we might see our country as a never ending chaos and messy one. Butuh orang lain dulu yang melihat bagaimana "indahnya" negeri sendiri atau butuh "pergi jauh" dulu dari negara ini lalu tinggal di negara orang untuk tau apa yang dirindukan dari negara sendiri. Seperti yang saya alami. 6 Bulan di negeri yang amat maju dan terartur, saya jadi rindu ketidakteraturan negara sendiri, terutama untuk hal-hal dibawah ini :
  1. Harus saya akui bahwa kesemrawutan transporatsi publik di negara kita itu ngangeni. Setidaknya disetiap ketidakteraturan selalu ada jalan keluar yang menunggu. Plus, transportasi publik di Inodnesia umumnya tidak berjadwal dan penuh dengan takdir dan keberuntungan. Di ST Lucia, sub urb tempat saya tinggal, bis menuju pusat kota hanya ada 1 dan datang tiap 30 menit sekali di hari biasa dan 1 jam sekali di akhir pekan. Ketinggalan satu menit? ya selamat menunggu 30 menit or 1 jam berikutnya. Kalo di Indonesia, ketinggalan bis berarti bisa diselamatkan dengan ojek pangkalan, ojek online, taksi reguler, taksi online atau bahkan ojek sepeda atau becak. minimal minta tolong tetangga atau nebenglah. Plus, tidak ada angkutan umum yg bisa kita setop kapan aja dan dimana aja, semua ada tempat dan waktunya:)
  2. Ketidakteraturan penjual makanan kaki lima yang ngangenin. Ada banyak spot-spot menarik di kota Brisbane yang sebenarnya akan tambah menarik jika saja ada banyak penjual makanan bergerobak yang diperbolehkan nongkrong disana. Setiap kali melewati daerah riverside misalnya, saya selalu membayangkan bisa makan siomay, bakso, soto atau bubur ayam sambil memandangi Brisbane River . Belum lagi kalau harus menunggu bis datang dengan waktu yang lama, minimal saya ngarep ada tukang gorengan disebelah halte. Tapi sayang, semua hanya angan☺☺
  3. Kebayang kan kalo abis jogging trus makan bubur ayam dengan river view?

    atau duduk-duduk sore sambil bercengkrama dengan yang terkasih sambil minum kelapa muda?

    Atau duduk-duduk aja sambil makan gorengan?:)

  4. Di Indonesia, siapa aja boleh jualan makanan, asal enak dan bersih pasti laku. Kalo di Australia sini, penjual makanan harus pake ijin dan mengurus ijinnya sebenarnya tidak sulit kata teman saya yang sudah pernah bekerja di restoran dan buka katering. Yang sulit itu syarat2 utk mendapatkan izin, seperti jarak antara kompor dan tempat cuci piring minimal harus sekian meter. Belum lagi kalo harus berurusan dengan alergi, jadinya penjual harus mencantumkan semua bahan baku dan kemungkinan alergi sedetil mungkin. Disini jualan makanan beresiko besar, apalagi kalo yg makan punay alegri spesific seperti kacang, bisa2 fatal akibatnya kalo termakan dan penjual yang tidak memberitahu informasi tersebut bisa kena denda yang tidak sedikit. Di Indonesia, sepanjang ga ada yg keracunan mah aman. Lalu bagaimana dengan yang jualan makanan Indonesia yang sering saya beli? itu jualannya selundupan aka diam-diam. modalnya whatssap group aja denga resiko ditanggung masing-masing. Untungnya orang Indonesia perutnya kuat-kuat semua:)
  5. Hal terakhir yang saya rindukan adalah..WARUNG. Karena segalanya serba teratur dan serba ijin disini, maka tidak ada rumah-rumah yg buka warung kecil didepannya. jadi ga ada tuh ceritanya kalo telor abis trus lari ke warung buat beli sebiji. Beli telor disini minimal 6 butir dan di supermarket,  dan untuk bisa ke supermarket harus jalan kaki yang lumayan atau naik bis. Jadi sekali belanja ya untuk seminggu. Ga ada ceritanya kalo algi mandi ternyata shampo habis trus teriak minta tolong ama kakak/adik untuk belikan shampe satu sachet di warung:) btw juga, shampo sachetan juga kayanya ga ada:)
Semoga setelah beberapa tahun disinipun rasa cinta saya pada negeri saya sendiri tidak berkurang yaa.. Bagaimanapun, setelah terbiasa dengan keteraturan untuk sekian lama, pasti akan gamang jika membayangkan suasana yang benar-benar berbeda. Kalo demikian, saya bayangin makanan Indonesia yang enak-enak dan ojek aja ah:)
 

Rabu, 10 Januari 2018

So, I'm back :)

Banyak hal yang terjadi sejak postingan terakhir saya satu setengah tahun yang lalu. Yang pertama akhirnya saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Alhamdulillah. Setelah jatuh bangun, uang, air mata dan doa, akhirnya segala hal terkait sekolah menemukan titik terangnya di bulan Agustus 2016. Tapi ternyata, jalan menuju sekolah kembali dan di luar negri pula itu ga semudah yang saya bayangkan. segala perjuangan keras saya untuk mendapatkan beasiswa ternyata belum berakhir setelah beasiswanya berhasil didapatkan. 

Yang kedua, setahun setelah saya dinyatakan sebagai penerima beasiswa MORA dari Kementrian Agama. akhirnya saya menginjakkan kaki di negeri Kangguru. Rasanya seperti mimpi, mengingat segala kendala yang saya hadapi mulai dari aplikasi beassiwa hingga aplikasi visa. Seperti yang saya bilang di paragraf sebelumnya, perjalannan ini sungguh tidak mudah. Saya resmi diterima kampus saya sekarang pada bulan Maret dan baru mendapatkan surat resmi pengurusan visa menjelang akhir Juni, sebelum libur lebaran sementara 3 minggu setelahnya saya sudah harus berada di negara tujuan. Hectic yang seru. 

Yang ketiga, saya resmi menjadi mahasiswa S3. Yang artinya, hidup saya akan diisi oleh deadline dan stress yang tak berujung sehingga dampaknya, saya semakin sering jalan-jalan dan masak-masak:). Saya masih canggung dengan perubahan dari dosen jadi mahasiswa, dari yang biasa ngasih tugas jadi dikasih tugas. Dari yang biasa ngasih nilai jelek, sekarang jadi yang dinilai. dan dapat nilai yang jelek pula:) 


jadi, dan disinilah saya sekarang.
Di benua baru
6.300 km dari rumah 
dengan cerita baru tentang hidup di lingkungan baru 
dan tantangan-tantangan baru yang harus saya hadapi.


6 bulan disini saya merasa hal-hal baru yang saya alami dan perlu saya bagi lewat tulisan. Lagipula, dunia saya sekarang isinya hanya membaca dan menulis saja, tapi semua yang dibaca dan ditulis kelas berat semua:)
Jadi, saya pikir saya perlu menulis yang agak-agak ringan sedikit buat hiburan dan menjaga agar saya tetap waras:)


So, I'm back :)  


Minggu, 15 Mei 2016

Undangan Pernikahan

Tidak banyak yang tahu bahwa setiap kali undangan pernikahan saya terima, setiap kali itu pula hati saya berdesir pedih.

Dulu, ketika undangan itu datangnya dari geng teman-teman dekat semasa SMA dan kuliah, saya heboh dan bersemangat untuk menghadirinya.

Pernah, seorang teman menikah, saya bela-belain nyari kado yang lucu dan cukup di kantong saya, membungkusnya lalu mengetikkan quote-quote pernikahan di kertas wangi sebagai penyerta. Saya siy berharap hadiah itu cukup berguna bagi mereka meskipun ala kadarnya

Melewati masa umur 25, undangan pernikahan memberikan efek ganda pada saya; semangat tapi juga mulai khawatir. Akankah saya segera mengundang orang lain juga di pesta saya? Atau akankah saya akan menjadi objek pertanyaan kapan menikah semata?

Di umur 27, saya membuat undangan pernikahan dan juga memesan kebaya pernikahan di Jogja. Undangan dan kebaya itu dipesan untuk adik saya. Dan kemudian lebih banyak pertanyaan dan pernyataan yang terdengar. Semakin lama semakin menakutkan.

Umur 30an, undangan semakin sering diterima. Kali ini bukan lagi dari kolega semata, tapi juga dari mahasiswa-mahasiswa saya. Ternyata saya semakin tua dan mereka rasanya terlalu cepat menikah. Pada saat itu, undangan sudah harus diterima dengan besar hati.

Begitupun dengan dilangkahi oleh saudara kandung, dilangkahi menikah oleh adik kelas (dan bahkan) oleh murid yang dulu saya ajar, ditinggal menikah oleh mantan atau ditinggal menikah oleh teman, semua sudah harus mulai diterima dengan besar hati

Siapa tahu setelahnya Gusti Allah menyiapkan lelaki yang besar pula hatinya untuk semua kesabaran itu

Semoga begitu...

Minggu, 24 April 2016

Long Road To be a Student; Menghadapi Komentar yang Menyebalkan ..

gambar dari ignya Agoez Rahman, suaminya Dewi Sandra
.

Berhadapan dengan urusan sekolah dan masa depan memang membutuhkan ketahanan diri yang tinggi baik secara fisik ataupun mental. Selain karena prosesnya yang panjang, potensi kegagalan yang tinggi serta proses recovery yang kadangkala cukup lama, urusan masa depan ini juga seringkali dihubungkan oleh banyak orang dengan hal-hal yang kadang kala tidak perlu dihubungkan sama sekali.

Salah satu hal yang berat dari proses ini adalah bagaimana menyikapi berbagai pendapat dan komentar yang seringkali muncul tanpa diminta. Dan sayangnya, pendapat dan komentar tersebut lebih sering melemahkan daripada menguatkan. Apalagi jika yang ingin sekolah (lagi) itu adalah seorang dosen perempuan yang masih lajang seperti saya. Pendapat yang paling sering saya dengar adalah tentang semakin sulitnya perempuan yg bersekolah tinggi untuk mendapatkan jodoh. Banyak yang menyampaikannya dengan hati-hati namun lebih banyak lagi yang menyampaikannya dengan pilihan kata yg amat menyakitkan.

Seperti pengalaman saya beberapa hari yang lalu disebuah kantor. Saat itu saya sedang mengurusi sesuatu yg membutuhkan informasi pribadi. Kemudian, kepada petugasnya saya memberitahukan bahwa saya berumur 34, masih lajang dan berpenghasilan sekian. Setelah saya menyampaikan informasi tersebut, petugasnya berkomentar :

"Para dosen ini biasanya suka sekolah tinggi-tinggi ya sampe lupa menikah, seperti mbak kan?"

Lalu saya menjawab:

"Mbak, saya ga lupa untuk menikah. Saya malah ingin sekali menikah tapi jodoh saya belum datang".

Meskipun saya berusaha menjawabnya sehalus mungkin, tetap tidak mengurangi usaha mbak petugas itu untuk mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yg lebih terkesan seperti tuduhan yang menyudutkan saya seperti saya terlalu pemilih, terlalu sibuk berkarir dan seterusnya.Saya sebenarnya tidak kaget lagi dengan pertanyaan dan tuduhan seperti ini, sudah terlalu sering saya menghadapinya. Yang saya sering membuat saya kaget adalah pertanyaan dan tuduhan itu keluar dari mulut orang yg bahkan tidak mengenal saya sama sekali.

Bahkan kadang yang harus diyakinkan tentang perempuan lajang umur 30an dan ingin sekolah ke Luar Negri dan dia akan baik-baik saja itu adalah orang-orang terdekat. Syukurnya, saya mempunyai support system yang cukup baik. Kakak saya menjadi bamper saya jika saya mulai diusik oleh keluarga besar tentang rencana ini. Yang paling sulit itu adalah menyakinkan ibu saya bahwa rancana sekolah saya juga adalah bentuk rencana masa depan lainnya yang ingin saya wujudkan.

Saya memahami bahwa hampir semua orang tua akan mengkhawatirkan anaknya berencana pergi dan menetap di daerah baru dan sendirian. Lebih jauh lagi, saya memahami kesedihan hatinya karena melihat saudara-saudara saya yang lainnya yang lebih muda sudah mendapatkan pasangan, sementara saya belum dan beliau harus terus menerus menjawab pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya. Belum lagi pikiran banyak orang termasuk dalam hal ini orang tua saya, bahwa para lajang dengan umur 30 an seperti saya terlalu santai dan cenderung tidak memikirkan tentang pernikahan.

Sayangnya, semakin tua seseorang, semakin banyak masalah yang ia pilih untuk disimpan sendiri saja karena membaginya pada orang lain mungkin akan menambah beban pikiran mereka saja. Seperti yang saya lakukan. Saya memilih tidak menceritakan perjuangan saya berkenalan dengan banyak pria, yang kemudian tapi berujung patah hati. Yang orang-orang tahu bahwa saya dan para lajang lainnya terlalu pemilih. Saya juga tidak perlu menceritakan pada banyak orang sedihnya tidak punya teman ketika pulang ke rumah, sehingga sebagian memilih untuk berlangganan tv kabel atau membeli banyak pulsa yg bisa dihabiskan tiap malam untuk berbicara dengan banyak orang yang seringkali terlalu sibuk untuk diajak bicara, hanya agar sepinya tidak terasa. Yang mereka tahu hanyalah saya dan lajang lainnya terlalu sibuk mengejar karir atau tidak bergaul.

Sebagian orang akan bilang kalo saya harusnya bersyukur masih lajang..Ya, saya bersyukur dengan status saya sekarang. Mungkin itulah yg akan memudahkan saya untuk meraih impian yg ada di depan mata saat ini. Jika saya sudah menikah dan punya anak, mungkin saya harus melupakan sebagian impian-impian saya, Hal yang bolak balik saya ingatkan kepada diri saya sendiri. Untuk bersyukur dan menerima kondisi yang saya miliki sekarang.

Sayangnya memang ada orang-orang yang diciptakan Allah untuk menguji hati orang lain. Orang-orang yang somehow suka lupa bahwa banyak orang yang juga ingin hidupnya senormal hidup mereka; Lulus kuliah, bekerja kemudian dilamar, menikah dan kemudian punya anak lalu hidup bahagia selamanya tanpa cela tapi bukankah ada bagian-bagian yang dirahasiakanNya kepada kita agar kita mengusahakan dulu sebaik-baiknya?

Hanya karena kita sudah melewati fase itu, lalu kita jadi punya lisensi untuk menteror orang lain dengan pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab?

Mungkin kita juga seringkali lupa bahwa orang yg hari ini menikah dan punya anak juga dulu suka sebel dengan pertanyaan serupa. Jika demikian, berhentilah menjadi penanya yg menyebalkan. Kalau tidak mampu, mungkin dikurangi sedikit demi sedikit. Itu sudah akan banyak membantu..

Minggu, 17 April 2016

Long Road To be a Student; About Support System

Having up and down along these three years because of something called scholarship application makes me understand that what i need for a big plan is a great support system.

Among my collagues in office, I'm the only one now who plan to continue my study abroad rather than thinking about reaching the next step of my personal life through marriage. Due to this case, I received many question about why I choose study than having husband or many simple statements (which is not simple at all) such as :
"having a phd will create difficulties for me to get a husband"
Or
"You supposed to think about having a baby than having a phd"

Those statements and questions are one of the hardest part of this plan. More people are taking on disagree side than agree to your plan while you actually not asking for their agreement.

Not only your colleagues will against you, sometimes, you need to against your close circle such as your parents, siblings or even your bestiest. It is much more difficult to consider what your close persons think than any other opinion.

Sometimes when i take a deep breath, I also wondering, is it too hard to people to be somebody's dream supporter? Is it difficult for them to understand that each person has different vision?

That is the reason why I choose to share my dream just to several people who will listen and support me through their wishes and pray instead of ask those annoying question. Because this scholarship journey is a very long and winding road, full of emotional things and demands a lot of energy. Having good and supported people around you when you have a tiring journey will mean a lot.

And if you cant have one, then be one..


Yang udah berkunjung ke sini ..