Saya
tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau sekolah S3 akan menjadi
perjalanan panjang nan emosional. Sebut saja soal deadline yang tak
berujung, atau tugas-tugas yang tak berkesudahan. Jika satu deadline
berlalu, maka hari berikutnya, seorang mahasiswa PhD harus siap untuk
mengerjakan revisian (plus biasanya) ditambah dengan deadline baru. Dan
itulah yang terjadi pada saya. Well, bukan ingin mengeluh, saya sadari
kalau yang saya alami hari ini adalah sesuatu yang saya doakan dan
perjuangkan mati-matian beberapa tahun yang lalu. hanya saja yaaa
begitulah :)
Jumat lalu, sudah kali ketiga saya bimbingan. Sudah tiga kali juga saya berdiskusi dengan spv-spv saya tentang bab pertama
dari 4 bab dokumen yang harus saya penuhi untuk ujian kandidat PhD
nantinya. Rasanya saya makin bodoh saja. Saya memang bisa menulis, tapi
dalam Bahasa Indonesia dan punya kemampuan menulis bahasa Inggris yang hanya agak sedikit (lumayan). Tapi ternyata, sampai disini, dan selama 6 bulan menjadi mahasiswa PhD, segala kemampuan menulis saya lenyap tak bersisa.
Ternyata,
sekolah di negeri orang memang tidak mudah. Salah satu yang paling
sulit tentu saja bahasanya. Faktor yang lainnya tentu saja tak kalah
banyaknya. Bagi saya, makanan tidak menjadi kendala karena saya bisa
memasak. Yang jadi kendala adalah perubahan musim yang masih mengagetkan
saya, cara kerja dan komunikasi dan adaptasi dengan load kerja yang tak
mementu. Homesick masuk ga? Jelas. Sudah beberapa kali saya menangis
tanpa sebab.
Masalah bahasa ini memang tidak bisa dianggap remeh.
Meskipun sudah les bahasa Inggris dari jaman teman-teman saya main
kelereng sementara saya harus berangkat les naik angkot ke pusat kota
sendirian, tetap saja ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang
bahasa Inggrisnya seperti air mengalir, lidah saya patah rasanya.
Meskipun sebenarnya orang Indonesia berbahasa Inggris tidaklah
buruk-buruk amat. Well, minimal jika dibandingkan dengan ketidakjelasan
artikulasinyateman-teman saya dari China, Jepang atau dibandingkan
dengan aksen-aksen yang tidak biasa dari teman-teman saya dari negara
latin berbahasa Inggris. Setidaknya begitu kata supervisor atau profesor
saya.
Kembali
ke urusan revisian tadi. Sudah tiga kali saya merevisi bab yang sedang
saya kerjakan. Dan boro-boro bicara soal kesempurnaan, sejauh ini,
semuanya masih nampak mentah. Hari ini, akhirnya saya menemui Jonathan,
salah seorang konsultan senior dari research support office untuk curhat
tentang masalah ini.
Setelah mendengar segala keluhan saya, Jon lalu bilang:
"kalau masih tiga kali itu biasa. Kalo udah 15 kali trus masih begini, itu baru masalah".
Jon
kemudian bercerita tentang seorang penulis best seller yang ia temui di
Brisbane Writers Festival setahun yang lalu. Buku yang ia tulis adalah
buku serius, tentang bagaimana otak yg rusak bisa diperbaiki. Menurut
Jon, setiap chapter dari bukunya, mengalami revisi tak kurang dari 15
kali. Makanya angka 15 kali menjadi standar bagi Jon untuk sebuah
tulisan yang bagus.
"Untuk
kamu ketahui, Selain menulis buku itu, beliau juga praktisi medis,
konsultan, pengajar di Columbia University (yang kelas universitasnya ga
main-main) dan aslinya adalah dari Kanada (yang bahasa bukan merupakan
kendala baginya)" tambah Jon.
"kalau
penulis sekelas dia dan tidak bermasalah dengan bahasa saja butuh 15
kali revisi agar bagus, maka 3 kali revisi yg kamu alami belum ada
apa-apanya'
"kamu masih punya kesempatan 12 kali lagi untuk revisi" kata Jon sambil tersenyum lebar kepada saya.
Well, those words were the best part of my two hours consultation today...
.